Wednesday, March 5, 2014

Sukses Pembangunan KPH/Kehutanan

Pembentukan KPH diluar Jawa adalah gagasan lama yang ingin dilakukan meniru pengurusan hutan jati di Jawa. Pengurusan dengan membentuk KPH di hutan jati Jawa merupakan sistim pengurusan yang sangat baik - mungkin terbaik - yang kerenanya ingin diterapkan juga di hutan2 rimba di luar Jawa. Dengan begitu diharapkan kelestarian hutan luar Jawa  lebih terjamin. Mengapa demikian ??? Karena dalam sebuah KPH segala tindakan - dari perencanaan, pelaksanaan pembanguna jalan2, pemungutan hasil, tindakan2 konservasi dan lain-lain akan didasarkan atas data dan informasi yang akurat yang didapat dari survey dan inventarisasi yang mengawali semua tindakan pengurusan KPH ybs.
Bagaimana progres program pembentukan/pembangunan KPH yang dimulai sejak tahun .......? Bersyukur bahwa program tsb dilanjutkan walau Kabinet/Menteri Kehutanannya berganti.
Tersendatnya pembangunan KPH menurut saya dimulai dengan kurangnya sosialisasi - khususnya kepada para Kepala Daerah Tk I maupun II - yang harus diikuti dengan penyediaan anggaran di masing2 tingkat yang diberi tanggung jawab untuk melaksanakan pembangunan. UU OTDA telah mengatur bahwa wewenang pengurusan hutan sebagian besar di desentralisasikan ke Daerah namun pada pelaksanaannya Daerah Daerah belum dipersiapkan, baik dengan anggaran maupun SDM-nya serta aturan-aturan pelaksanaannya.

Berita yang dimuat dalam surat kabar disini menunjukkan kemajuan yang menggembirakan, yaitu PEMBANGUNAN KPH SESUAI TARGET. Diberitakan disitu bahwa jumlah KPH yang sudah terbentuk berjumlah 120 buah tersebar di ..... propinsi. Saya belum mempelajari apakah KPH yang dibangun sudah mengacu kepada  kebijakan besar yang diadopsi Pemerintah/Kemhut atau belum sepenuhnya. Kebijakan tersebut adalah Pengurusan Hutan Berbasis Daerah Aliran Sungai. Tantangan berikutnya adalah pemenuhan kebutuhan SDM yang mumpuni atau mampu untuk mengelola KPH2 tersebut. Menhut Zulkifli Hasan mengungkapkan bahwa jumlah tenaga yang dibutuhkan mencapai 12.520 orang, sementara tenaga sarjana Kehutanan yang direkrut tahun 2013 baru 120 orang. Jadi kesempatan untuk berkarya bagi sarjana Kehutanan masih terbuka sangat lebar.

PENYESUAIAN PENDIDIKAN dan SERTIFIKASI SDM.
Pemerintah secara koordinatif harus segera merencanakan dan melangkah untuk mengatasi kebutuhan tersebut diatas. Pendidikan tenaga Menengah Atas sampai Sarjana Kehutanan harus diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan tersebut. Kementerian Kehutanan harus berkoordinasi dengan Kemendikbud, Univeritas/Fakultas Kehutanan, Kementerian teknis yang terkait untuk menyusun kurikulum pendidikan yang sesuai di SKMA - sekarang SMK Kehutanan - Fakultas Kehutanan, Pendidikan Tingkat Akademi jika perlu, serta Kursus & Pelatihan yang diperbanyak untuk mencapai jumlah tenaga yang berkualitas sebanyak dan secepat mungkin.

Saat ini Indonesia telah mempunyai Lembaga Sertifikasi tenaga kerja teknis, a.l. di sektor Kehutanan, yaitu LSPHI dan RINO. Kedua Lembaga ini berfungsi untuk mengadakan pengujian KOMPETENSI tenaga teknis Kehutanan sesuai dengan STANDAR KOMPETENSI yang telah ditetapkan oleh Kemnaker R.I. bersama dengan institusi pengguna tenaga ybs. Lembaga ini juga memandu dan memantau Badan2 Pelatihan Tenaga Kerja yang bersangkutan dalam mempersiapkan tenaga kerja menghadapi sertifikasi.
Dengan sertifikasi akan dilahirkan tenaga kerja yang kompeten / trampil sehingga menjamin kinerja yang tinggi. (Sayangnya pada waktu tulisan ini dibuat belum terdengan GEMA peningkatan mutu tenaga kerja teknis di Indonesia melalui sertifikasi. Tekanan Kemnaker kepada Pimpinan Institusi pengguna naker masih samar2. Akibatnya para Pimpinan Institusi umumnya belum menyediakan cukup anggaran untuk mengirim nakernya mengikuti sertifikasi di Lembaga ybs. Padahal, kalau tidak salah mulai 2015 nanti wilayah Asean sudah terbuka bagi tenaga kerja bekerja dinegara mana yang ia pilih dan negara2 Asean telah sepakat tidak akan memasang hambatan apapun (?). Itu berarti tenaga kerja Indonesia harus siap bersaing dengan para pendatang dan satu2nya senjata untuk bersaing adalah kualita / ketrampilan naker kita. Karena itu pelatihan yang diikuti dengan SERTIFIKASI KOMPETENSI adalah mutlak.

PENGELOLA KPH.
Dalam kaitan ini maka para Kepala KPH - walaupun sudah berpendidikan S1 - adalah yang terpenting untuk dididik dan diberi sertifikat kompetensi. Eselon dibawahnya juga perlu segera menyusul. Untuk itu semua komitmen para pengambil kebijakan dari pengelola institusi sampai kepada Menteri Keuangan harus diperkuat sehingga penyediaan anggaran tidak menjadi kendala.

Thursday, January 16, 2014

"SURPRISE" di Jnauari 2014

Januari 2014. Orang baru saja berpesta Tahun Baru, tiba2 ada geledeg disiang bolong! Pertamina mengumumkan kenaikan harga gas sebesar 30%. Harga gas per tabung 12 kg naik dari sekitar Rp 78.000,- menjadi rp 147.000,-an, sedang gas dengan tabung kecil (3 kg) harganya tetap.
Rakyat terutama ibu rumah tangga, terkejut dan kecewa! Begitupun saya yang selama ini meng-idolakan Karen sebagai putri Indonesia yang berprestasi dan cemerlang, tahan terhadap gempuran anggauta DPR masalah surat yang dikirimkannya dulu.
Peristiwanya juga menarik perhatian, karena diumumkan secara tiba2, tanpa wacana atau ribut2 sebelumnya. Biasanya kenaikan harga komoditi yg menguasai hajat hidup rakyat selalu dibahas di DPR lebih dulu. Ingat saja kenaikan harga BBM yang begitu alot sampai2 kenaikannya ditunda segala. Saya langsung berandai-andai jangan2 ini menjadi sebab jatuhnya Srikandi Indonesia ini ????
Saya tidak percaya Karen Agustiawan bertindak ceroboh seperti itu. Jadi apa gerangan yang mendorongnya menaikkan harga komoditi yang demikian strategis dengan demikian drastis.
Untung bahwa 2 hari kemudian terungkaplah asal muasal penaikan tersebut. Awal mulanya adalah BPK (BADAN PEMERIKSA KEUANGAN) yang memberikan rekomendasi kepada Pertamina untuk menghapus kerugian dari penjualan gas sebesar Rp 7,7 triliun dalam th 2013 yang timbul dari rendahnya harga penjualan gas. Menurut Pertamina biaya produksi gas lebih dari Rp 10.000,-/kg sedang harga jualnya Rp 5.850.  Pantas kalau masyarakat sontak bereaksi dengan a.l. berdemo kekantor Pusat Pertamina. Mediapun menyuarakan keberatan masyarakat terutama para penjual makanan yang memasak dengan gas.
DPR pun melontarkan kritiknya , mengatakan Pemerintah tidak mampu melakukan koordinasi.
Entah kebetulan atau memang terkait dengan kenaikan tsb gas dengan tabung 12 kg menjadi langka di pasaran. Disamping itu banyak para pencari keuntungan mulai mengumpulkan gas dengan tabung kecil / 3 kg untuk kemudian dituangkan kedalam tabung 12 kg dan dijual dengan harga baru. Konon dengan berbuat demikian orang mendapat untung sampai Rp 25.000,- per tabung isi 12 kg.

Yang patut dipertanyakan, bagaimana keputusan yang sedemikian strategis dapat salah (menurut kenyataannya, karena kemudian Pemerintah merevisinya)? Apakah Presiden tahu dan menyetujuinya? Ternyata Presiden menyatakan dalam Sidang Kabinet Terbatas di Bandara Halim bahwa penetapan harga gas adalah kewenangan Pertamina sebagai Korporat.
Jika Pertamina yang membuat keputusan tanpa konsultasi atau dukungan atasan sama sekali, tidak patutkah pimpinan Pertamina diberi sanksi?!
Ternyata kenaikan tersebut diputuskan dalam RUPS Tahunan Pertamina pada tgl. 30 Desember 2013 yang dihadiri oleh Meneg Dahlan Iskan. Karena itu beliau menyatakan bahwa yang patut disalahkan adalah dirinya dan beliau pasang badan menghadapi risiko apapun.
Mendengar keluhan masyarakat Presiden SBY segera memerintahkan agar harga baru Rp 9.809,-/kg - naik rata2 Rp 3.959,-/kg - direvisi dan supaya selesai dalam dalam sehari.
Maka Dirut Pertamina Karen Agusetiawan pun dihadirkan dalam Sidang Kabinet khusus untuk membahas harg gas (elpiji) dipimpin oleh Menko Ekuin Hatta Rajasa dan para Menteri perekonomian yang kemudian menetapkan kenaikan harga bertahap secara hati2 dan sebagai tahap awal ditetapkan kenaikan Rp 1.000 /kg (menjadi Rp 6.860,-/kg).

Belakangan baru terungkap di media bahwa asal muasal penaikan harga tersebut adalah rekomendasi BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang setelah memeriksa Pertamina menemukan kerugian Pertamina dari penjualan gas menacapai Rp triliun, disebabkan oleh adanya subsidi harga gas yang ditetapkan oleh Pemerintah. Hal ini tidak dapat dibenarkan oleh BPK dan direkomendasikan agar harganya dinaikkan. (Walaupun demikian lucu juga menaikkan harga komoditas yang menjadi andalan masyarakat luas hanya diputuskan dan diberlakukan "begitu saja".

Apakah akan ada sanksi bagi Pimpinan Pertamina dan Menteri yang bersangkutan, kita lihat saja nanti !!!!!!!!!






Friday, November 22, 2013

KORUPSI DI INDONESIA.

Korupsi katanya sudah ada dimana dan sejak entah jaman kapan. Menurut informasi di Google pada jaman Firaunpun sudah ada korupsi. Kalau di Indonesia mungkin tidak ada manusia yg tidak tahu apa itu korupsi. Maklum, korupsi sudah membudaya! Saya ingat jaman Orde Lama - kalau tidak salah - salah satu hal yg jadi sengketa Bung Karno dengan Bung Hatta adalah soal korupsi. Bung Hatta menyebut korupsi di Indonesia (waktu itu! Kira2 th 1950-an) sudah membudaya dan Bung Karno tidak setuju. Jaman Orde Baru ada sengketa juga soal korupsi. Waktu dicanangkan Gerakan (?) Hidup Baru oleh pak Harto dengan tujuan memberantas korupsi. Bang Ali Sadikin mengatakan bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dari atas. Juga Jendral Nasution mengatakan begitu Pak Harto tidak setuju dan mengatakan pemberantasan harus dimulai dari bawah. Maka hasilnya ............., seperti kita ketahui! Korupsi berjalan terus dan makin intensif. Kalau dulu ada istilah populer "tien prosen" atau 10% - komisinya - maka sekarang kabarnya sudah jadi 20 - 30%. Jaman Orba juga ada istilah populer KKN - Korupsi, Kroniisme dan Nepotisme - yang jadi mainan para Penguasa. Pengangkatan konco2 dan saudara2 untuk menduduki jabatan yg strategis - terutama dalam arti negatif - marak dimana2. Akibatnya semua kantong2 rejeki dibagi-bagi diantara para penguasa dan konco/kroni/saudaranya sehingga rakyat kecil terpinggirkan dan tetap kecil dan miskin.
Saya lulus Sarjana pada th 1960 dan mulai bekerja di Jawatan Kehutanan. Masih jaman Orla. Tahun 1965 Orla mulai runtuh, Pemerintahan diganti dengan Orde Baru atau Orba yang ber- visi-misi menegakkan demokrasi yang sesuai dengan Undang2 1945. Namun pada pelaksanaannya terjadi penyimpangan dari UU '45. Makin lama kekuasaan makin dipusatkan dan praktis mutlak dipegang oleh Presiden Soeharto. Sudah menjadi ungkapan umum bahwa kekuasaan itu cenderung korup. Dan begitulah kenyataannya. Semua pos jabatan penting diisi dengan "orang2 Penguasa", setidak2nya orang yang disetujui Penguasa. Korupsipun makin marak.
Korupsi tidak hanya di Indonesia saja. Di semua negara terjadi, bahkan disuarakan bahwa di organisasi internasional seperti Bank Dunia juga ada korupsi (tetapi fakta2-nya tidak pernah saya baca di media). Orde Baru atau Orba mendapat nama baik di mata dunia karena disiplin membayar hutangnya. Maka Bank Dunia rajin memberi hutang ke Indonesia yang bunyinya adalah MEMBANTU namun disisi lainnya juga mengendalikan. Obyek2 pembangunan yang akan dibiayai dengan hutang ke Bank Dunia harus diusulkan dulu dan hanya yang disetujui yang diberi pinjaman. Disuarakan bahwa orang Bank Dunia juga mendapat "bagian komisi" dari jumlah yang dipinjamkan ke Indonesia - entah benar entah tidak. tetapi dari dana yang masuk ke Indonesia itu yang juga dikorupsi oleh para yg punya wewenang dan yang ditugaskan untuk melaksanakan pembangunan.
Setelah bertahun-tahun berjalan, kalau tidak salah prof Widjojo Nitisastro saat menjabat Ketua Bappenas, mengatakan bahwa dari jumlah yang dipinjam dari Bank Dunia, 30% dikorupsi.

Setelah tumbangnya Order Baru dan mulainya Era Reformasi maka pemulihan demokrasi yang selama 32 tahun dipangkas oleh regim Orba menjadi tujuan utama dari Pemerintah bersama DPR.
Untuk itu UU 1945 di amandemen (sampai 5 kali!) , otonomi Daerah dilaksanakan (sampai tingkat Kabupaten/Kota) dan banyak lagi keputusan2 baru yang intinya memberi kewenangan kepada rakyat/DPR dalam melaksanakan Pemerintahan. Sistim Presidensial yang diputuskan dalam UU 45 yang di amandemen menjadi kabur karena DPR diwenangkan ikut menyusun RAPBN.
Dan apa yang terjadi? Rakyat kelihatan belum siap secara mental yang kemudian diikuti dengan ketidak-siapan secara moral. Pensalah-gunaan wewenang dan korupsi menjadi makin marak. Sumber daya alam dan lingkungan rusak karena pejabat dan partai politik  yang ingin menjadi kaya secepat cepatnya lalu "membabi-buta".mengeruk dan menumpuk kekayaan dengan cara yang tidak semestinya. Tokoh2 Partai Politik dp DPR banyak yang tersangkut perkara korupsi. Pejabat2 Eksekutif - yang memegang duit - tidak ketinggalam ikut ber - korupsi ria. Dan sedihnya aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan dan Kepolisian sudah lama dikenal sebagai "sarang" koruptor dan karenanya tidak dapat diandalkan untuk memberantas korupsi sehingga dibentuklah institusi baru yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Adalah wajar jika Kepolisian merasa tidak senang dengan adanya KPK. Maka terjadilah peristiwa2 yang merupakan cetusan perasaan tsb seperti yang dikenal dengan kasus CICAK VS BUAYA, penarikan beberapa puluh Polisi-penyidik yang diperbantukan ke KPK oleh Kapolri . Masyarakat sangat mendambakan kinerja KPK dan Pengadilan (Tipikor) khusus dalam pemberantasan korupsi ini. Tetapi kemudian ternyata bahwa banyak Hakim yang terlibat suap dalam menangani perkara2 korupsi. Masyarakat juga kecewa karena hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor umumnya dinilai terlalu ringan sehingga mencederai rasa keadilan. Kekecewaan tersebut bertambah parah setelah Mahkamah Agung atau MA ternyata juga tidak berjiwa anti korupsi. Pembebasan koruptor besar oleh M.A. setelah mengajukan PK - yang nota bene oleh orang yang tidak berhak dan pada waktu yang tidak sesuai hukum - membuktikan hal tersebut. Kekecewaan tersebut masih bertambah parah lagi setelah Ketua M.A.-nya tertangkap KPK karena suap. Terasa runtuhlah negara ini.
Banyak "tokoh" yang  wajahnya sehari hari menjadi pengisi Media2 massa hari hari ini. Apakah mereka benar pelakunya? Wallahualam, tetapi begitulah pemikiran para penyidik. Semoga saja yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Dan segera kapok mereka yang melakukan korupsi.
  Saat ini kasus yang sedang marak dan muncul di media sehari hari adalah  Bank Century, Pusat Olah Raga Hambalang, Mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi Akil Muchtar, Pilkada Gunung Mas dan Tangerang, Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dengan dinastinya, Bea Cukai dan SKK Migas.
Masyarakat bingung dan ada yang ragu korupsi dapat diberantas di Indonesia karena kecenderungan bahkan desakan para elit Daerah kearah yang dapat menjadi ladang korupsi baru juga kuat, yaitu PEMEKARAN DAERAH, baik tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Tuntutan pemekaran yang disertai tindak anarkis marak. Di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi ....... dll terjadi pengerahan massa oleh kelompok elit yang menginginkan menduduki pimpinan di Daerah Baru telah menimbulkan masalah ketertiban dan keamanan di daerah2 yang bersangkutan. Demo yang akhirnya anarkis terjadi ditempat2 demikian karena para pendemo melakukan pemaksaan dan melawan aparat keamanan yang berusaha meredam langkah mereka.
Karena pemekaran daerah  (terpaksa) dilakukan berdasar kepentingan kelompok elit setempat maka banyak Daerah baru yang tidak sukses mengembangkan dirinya. Rakyatnya tetap miskin , daerahnya juga demikian. Beberapa bahkan tidak dapat membayar gajih pegawainya dan banyak Kepala Daerah yang berurusan dengan aparat hukum. Menurut Menteri Dalam Negeri saat ini ada 34 Kepala Daerah yang berurusan dengan KPK atau Kepolisian/Kejaksaan. Sangat menyedihkan!!! Hal ini telah pula menimbulkan wacana untuk kembali kesistim sebelumnya, yaitu melakukan pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD, khususnya di Kabupaten/Kota. Memang hal itu dapat menghemat banyak dana APBN dan sangat mengurangi kesempatan korupsi, tetapi harus melalui perubahan Undang-undang Pemilu. Pastilah akan banyak yang menentang karena menyimpang dari prinsip2 demokrasi dsbnya. Disini menurut penulis orang lupa bahwa demokrasi merupakan prinsip saja, dan jalan untuk mencapai kesejahteraan yang adil dan merata. Bukan tujuan !!!!!!!! Karena itu semestinya jika jalan tsb - karena situasi dan kondisi - tidak membawa kesejahteraan yang adil dan merata, dirubah sedemikian rupa agar mencapai tujuan aselinya.

KPK mendapat tantangan yang sangat besar. Disamping oleh banyaknya masalah yang tak seimbang dengan jumlah penyidiknya, Moral Hakim Tipikor ternyata juga masih banyak yang lemah terhadap  komitmen untuk memberantas korupsi sehingga keputusan2nya kurang memberikan efek jera dan tidak memuaskan rasa keadilan publik. Selain itu integritas para hakim juga terasa kurang tinggi sehingga banyak yang tidak mampu menolak rayuan suap. Hambatan yang lain adalah bahwa jumlah penyidik KPK yang dibutuhkan sebanyak 400 orang, saat ini hanya terdapat 80-an orang dan menurut Ketua KPK untuk mengadakan rekruitmen tidak mudah.

Disamping hambatan dan kondisi yang diuraikan diatas, masih ada lagi keadaan yang ternyata memberi kesempatan bagi para yang memegang kekuasaan untuk melakukan korupsi, yaitu diadakannya dana optimalisasi dalam APBN kita. Dana optimalisasi adalah anggaran yang tidak jelas peruntukannya, tidak terkait dengan program Kementerian/Lembaga Negara manapun. Penggunaannya tergantung adanya permintaan dari para eksekutif maupun legislatif yang "menginginkan" dana tersebut - artinya seperti untuk hal yang penting menurut pertimbangan si pemohon sendiri - kemudian diajukan kepada forum yang berwenang (Penulis belum menemukan forum mana yang berwenang tsb). Sementara kalangan mencurigai bahwa dana tersebut diadakan sebagai hasil konspirasi antara Pemerintah dan DPR ( keduanya dikuasai oleh elit politik) untuk membagi-bagi uang rakyat. Dan itu adalah bentuk kesempatan korupsi yang lain.
Dalam harian Media tgl 22 Nopember 2013 dimuat pendapat dari Direktur Eksekutif Indef Enny  Sri Hartati yang mengatakan agar Dana Optimalisasi dihapuskan karena tidak jelas dan tidak terintegrasi dalam suatu Perencanaan Program Pemerintah. Besarnya dana itu adalah Rp 13 T di tahun 2012 dan meningkat menjadi Rp 27 T di APBN 2014. Bukan main !!!!!!!!!!! Itu lebih dari separoh anggaran DKI 2013 yang Rp 40T. Astagfirullah halaziiim !!!

Demikian itu situasi korupsi di Indonesia saat ini. Semoga langkah pemberantasan korupsi di negara ini bertambah kuat, makin memberi efek jera kepada para pelaku dan memberi signal kepada para yang berkedudukan untuk tidak melakukan korupsi. Hakim Agung Artidjo dkk bertiga telah memberi contoh kepada para hakim dengan menaikkan hukuman bagi Angelina Sondakh dari 4,5 tahun menjadi 12 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta dan membayar uang pengganti sebesar Rp 30,98  M.