Friday, November 22, 2013

KORUPSI DI INDONESIA.

Korupsi katanya sudah ada dimana dan sejak entah jaman kapan. Menurut informasi di Google pada jaman Firaunpun sudah ada korupsi. Kalau di Indonesia mungkin tidak ada manusia yg tidak tahu apa itu korupsi. Maklum, korupsi sudah membudaya! Saya ingat jaman Orde Lama - kalau tidak salah - salah satu hal yg jadi sengketa Bung Karno dengan Bung Hatta adalah soal korupsi. Bung Hatta menyebut korupsi di Indonesia (waktu itu! Kira2 th 1950-an) sudah membudaya dan Bung Karno tidak setuju. Jaman Orde Baru ada sengketa juga soal korupsi. Waktu dicanangkan Gerakan (?) Hidup Baru oleh pak Harto dengan tujuan memberantas korupsi. Bang Ali Sadikin mengatakan bahwa pemberantasan korupsi harus dimulai dari atas. Juga Jendral Nasution mengatakan begitu Pak Harto tidak setuju dan mengatakan pemberantasan harus dimulai dari bawah. Maka hasilnya ............., seperti kita ketahui! Korupsi berjalan terus dan makin intensif. Kalau dulu ada istilah populer "tien prosen" atau 10% - komisinya - maka sekarang kabarnya sudah jadi 20 - 30%. Jaman Orba juga ada istilah populer KKN - Korupsi, Kroniisme dan Nepotisme - yang jadi mainan para Penguasa. Pengangkatan konco2 dan saudara2 untuk menduduki jabatan yg strategis - terutama dalam arti negatif - marak dimana2. Akibatnya semua kantong2 rejeki dibagi-bagi diantara para penguasa dan konco/kroni/saudaranya sehingga rakyat kecil terpinggirkan dan tetap kecil dan miskin.
Saya lulus Sarjana pada th 1960 dan mulai bekerja di Jawatan Kehutanan. Masih jaman Orla. Tahun 1965 Orla mulai runtuh, Pemerintahan diganti dengan Orde Baru atau Orba yang ber- visi-misi menegakkan demokrasi yang sesuai dengan Undang2 1945. Namun pada pelaksanaannya terjadi penyimpangan dari UU '45. Makin lama kekuasaan makin dipusatkan dan praktis mutlak dipegang oleh Presiden Soeharto. Sudah menjadi ungkapan umum bahwa kekuasaan itu cenderung korup. Dan begitulah kenyataannya. Semua pos jabatan penting diisi dengan "orang2 Penguasa", setidak2nya orang yang disetujui Penguasa. Korupsipun makin marak.
Korupsi tidak hanya di Indonesia saja. Di semua negara terjadi, bahkan disuarakan bahwa di organisasi internasional seperti Bank Dunia juga ada korupsi (tetapi fakta2-nya tidak pernah saya baca di media). Orde Baru atau Orba mendapat nama baik di mata dunia karena disiplin membayar hutangnya. Maka Bank Dunia rajin memberi hutang ke Indonesia yang bunyinya adalah MEMBANTU namun disisi lainnya juga mengendalikan. Obyek2 pembangunan yang akan dibiayai dengan hutang ke Bank Dunia harus diusulkan dulu dan hanya yang disetujui yang diberi pinjaman. Disuarakan bahwa orang Bank Dunia juga mendapat "bagian komisi" dari jumlah yang dipinjamkan ke Indonesia - entah benar entah tidak. tetapi dari dana yang masuk ke Indonesia itu yang juga dikorupsi oleh para yg punya wewenang dan yang ditugaskan untuk melaksanakan pembangunan.
Setelah bertahun-tahun berjalan, kalau tidak salah prof Widjojo Nitisastro saat menjabat Ketua Bappenas, mengatakan bahwa dari jumlah yang dipinjam dari Bank Dunia, 30% dikorupsi.

Setelah tumbangnya Order Baru dan mulainya Era Reformasi maka pemulihan demokrasi yang selama 32 tahun dipangkas oleh regim Orba menjadi tujuan utama dari Pemerintah bersama DPR.
Untuk itu UU 1945 di amandemen (sampai 5 kali!) , otonomi Daerah dilaksanakan (sampai tingkat Kabupaten/Kota) dan banyak lagi keputusan2 baru yang intinya memberi kewenangan kepada rakyat/DPR dalam melaksanakan Pemerintahan. Sistim Presidensial yang diputuskan dalam UU 45 yang di amandemen menjadi kabur karena DPR diwenangkan ikut menyusun RAPBN.
Dan apa yang terjadi? Rakyat kelihatan belum siap secara mental yang kemudian diikuti dengan ketidak-siapan secara moral. Pensalah-gunaan wewenang dan korupsi menjadi makin marak. Sumber daya alam dan lingkungan rusak karena pejabat dan partai politik  yang ingin menjadi kaya secepat cepatnya lalu "membabi-buta".mengeruk dan menumpuk kekayaan dengan cara yang tidak semestinya. Tokoh2 Partai Politik dp DPR banyak yang tersangkut perkara korupsi. Pejabat2 Eksekutif - yang memegang duit - tidak ketinggalam ikut ber - korupsi ria. Dan sedihnya aparat penegak hukum khususnya Kejaksaan dan Kepolisian sudah lama dikenal sebagai "sarang" koruptor dan karenanya tidak dapat diandalkan untuk memberantas korupsi sehingga dibentuklah institusi baru yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Adalah wajar jika Kepolisian merasa tidak senang dengan adanya KPK. Maka terjadilah peristiwa2 yang merupakan cetusan perasaan tsb seperti yang dikenal dengan kasus CICAK VS BUAYA, penarikan beberapa puluh Polisi-penyidik yang diperbantukan ke KPK oleh Kapolri . Masyarakat sangat mendambakan kinerja KPK dan Pengadilan (Tipikor) khusus dalam pemberantasan korupsi ini. Tetapi kemudian ternyata bahwa banyak Hakim yang terlibat suap dalam menangani perkara2 korupsi. Masyarakat juga kecewa karena hukuman yang dijatuhkan kepada para koruptor umumnya dinilai terlalu ringan sehingga mencederai rasa keadilan. Kekecewaan tersebut bertambah parah setelah Mahkamah Agung atau MA ternyata juga tidak berjiwa anti korupsi. Pembebasan koruptor besar oleh M.A. setelah mengajukan PK - yang nota bene oleh orang yang tidak berhak dan pada waktu yang tidak sesuai hukum - membuktikan hal tersebut. Kekecewaan tersebut masih bertambah parah lagi setelah Ketua M.A.-nya tertangkap KPK karena suap. Terasa runtuhlah negara ini.
Banyak "tokoh" yang  wajahnya sehari hari menjadi pengisi Media2 massa hari hari ini. Apakah mereka benar pelakunya? Wallahualam, tetapi begitulah pemikiran para penyidik. Semoga saja yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Dan segera kapok mereka yang melakukan korupsi.
  Saat ini kasus yang sedang marak dan muncul di media sehari hari adalah  Bank Century, Pusat Olah Raga Hambalang, Mantan Ketua Mahkamah
Konstitusi Akil Muchtar, Pilkada Gunung Mas dan Tangerang, Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dengan dinastinya, Bea Cukai dan SKK Migas.
Masyarakat bingung dan ada yang ragu korupsi dapat diberantas di Indonesia karena kecenderungan bahkan desakan para elit Daerah kearah yang dapat menjadi ladang korupsi baru juga kuat, yaitu PEMEKARAN DAERAH, baik tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Tuntutan pemekaran yang disertai tindak anarkis marak. Di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi ....... dll terjadi pengerahan massa oleh kelompok elit yang menginginkan menduduki pimpinan di Daerah Baru telah menimbulkan masalah ketertiban dan keamanan di daerah2 yang bersangkutan. Demo yang akhirnya anarkis terjadi ditempat2 demikian karena para pendemo melakukan pemaksaan dan melawan aparat keamanan yang berusaha meredam langkah mereka.
Karena pemekaran daerah  (terpaksa) dilakukan berdasar kepentingan kelompok elit setempat maka banyak Daerah baru yang tidak sukses mengembangkan dirinya. Rakyatnya tetap miskin , daerahnya juga demikian. Beberapa bahkan tidak dapat membayar gajih pegawainya dan banyak Kepala Daerah yang berurusan dengan aparat hukum. Menurut Menteri Dalam Negeri saat ini ada 34 Kepala Daerah yang berurusan dengan KPK atau Kepolisian/Kejaksaan. Sangat menyedihkan!!! Hal ini telah pula menimbulkan wacana untuk kembali kesistim sebelumnya, yaitu melakukan pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD, khususnya di Kabupaten/Kota. Memang hal itu dapat menghemat banyak dana APBN dan sangat mengurangi kesempatan korupsi, tetapi harus melalui perubahan Undang-undang Pemilu. Pastilah akan banyak yang menentang karena menyimpang dari prinsip2 demokrasi dsbnya. Disini menurut penulis orang lupa bahwa demokrasi merupakan prinsip saja, dan jalan untuk mencapai kesejahteraan yang adil dan merata. Bukan tujuan !!!!!!!! Karena itu semestinya jika jalan tsb - karena situasi dan kondisi - tidak membawa kesejahteraan yang adil dan merata, dirubah sedemikian rupa agar mencapai tujuan aselinya.

KPK mendapat tantangan yang sangat besar. Disamping oleh banyaknya masalah yang tak seimbang dengan jumlah penyidiknya, Moral Hakim Tipikor ternyata juga masih banyak yang lemah terhadap  komitmen untuk memberantas korupsi sehingga keputusan2nya kurang memberikan efek jera dan tidak memuaskan rasa keadilan publik. Selain itu integritas para hakim juga terasa kurang tinggi sehingga banyak yang tidak mampu menolak rayuan suap. Hambatan yang lain adalah bahwa jumlah penyidik KPK yang dibutuhkan sebanyak 400 orang, saat ini hanya terdapat 80-an orang dan menurut Ketua KPK untuk mengadakan rekruitmen tidak mudah.

Disamping hambatan dan kondisi yang diuraikan diatas, masih ada lagi keadaan yang ternyata memberi kesempatan bagi para yang memegang kekuasaan untuk melakukan korupsi, yaitu diadakannya dana optimalisasi dalam APBN kita. Dana optimalisasi adalah anggaran yang tidak jelas peruntukannya, tidak terkait dengan program Kementerian/Lembaga Negara manapun. Penggunaannya tergantung adanya permintaan dari para eksekutif maupun legislatif yang "menginginkan" dana tersebut - artinya seperti untuk hal yang penting menurut pertimbangan si pemohon sendiri - kemudian diajukan kepada forum yang berwenang (Penulis belum menemukan forum mana yang berwenang tsb). Sementara kalangan mencurigai bahwa dana tersebut diadakan sebagai hasil konspirasi antara Pemerintah dan DPR ( keduanya dikuasai oleh elit politik) untuk membagi-bagi uang rakyat. Dan itu adalah bentuk kesempatan korupsi yang lain.
Dalam harian Media tgl 22 Nopember 2013 dimuat pendapat dari Direktur Eksekutif Indef Enny  Sri Hartati yang mengatakan agar Dana Optimalisasi dihapuskan karena tidak jelas dan tidak terintegrasi dalam suatu Perencanaan Program Pemerintah. Besarnya dana itu adalah Rp 13 T di tahun 2012 dan meningkat menjadi Rp 27 T di APBN 2014. Bukan main !!!!!!!!!!! Itu lebih dari separoh anggaran DKI 2013 yang Rp 40T. Astagfirullah halaziiim !!!

Demikian itu situasi korupsi di Indonesia saat ini. Semoga langkah pemberantasan korupsi di negara ini bertambah kuat, makin memberi efek jera kepada para pelaku dan memberi signal kepada para yang berkedudukan untuk tidak melakukan korupsi. Hakim Agung Artidjo dkk bertiga telah memberi contoh kepada para hakim dengan menaikkan hukuman bagi Angelina Sondakh dari 4,5 tahun menjadi 12 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta dan membayar uang pengganti sebesar Rp 30,98  M.







No comments:

Post a Comment